Dr. Eko Yulianto : Ancaman Megathrust dan Tsunami di Wilayah Indonesia adalah Nyata

"Pengetahuan ini bukan untuk menakut-nakuti, tapi agar masyarakat memiliki kesiap-siagaan dalam menghapai bencana, sehingga diharapkan risiko yang akan diterima bisa diminimalisir terutama pada jumlah korban".

***

JAKARTA - bolodesa.id (20/09/2021). Ancaman Megatrust dan Tsunami dalam perspektif Ilmu Pengetahuan adalah nyata. Untuk itu masyarakat harus bersiap menghadapi ancaman tersebut. 

Pengalaman berbagai bencana alam dari tsunami Aceh sejak 2004 yang kemudian diikuti, gempa Padang, gempa Nias, gempa Mentawai, tsunami Pangandaran, gempa Yogyakarta, tsunami Banten dan lainnya harus menjadi pelajaran penting agar bisa mengurangi korban saat bencana datang. 

Hal ini disampaikan Dr. Eko Yulianto dari Pusat Riset Geoteknologi LIPI dalam Konferens Nasional yang diselenggerakan oleh Dewan Kesehatan Rakyat, jum'at (17/9).

Secara geografis, dimanapun di wilayah Indonesia kita  berhadapan dengan ancaman megathrust dan tsunami, ujarnya. 

Catatan tertulis tentang kejadian gempabumi dan tsunami di Indonesia

Sebelumnya, Dr. Eko Yulianto  mengatakan bahwa dalam hitungan seorang ahli dari Amerika Serikat, Robert MacCaffrey, perulangan gempa dan tsunami raksasa di Aceh 2004 itu terjadi sekitar 525 tahun sekali. 

Megathrust menurut Dr.Eko Yulianto terjadi karena pergeseran lempeng benua yang masuk menelusup dibawah lempeng samudra menyebabkan gempa, gunung meletus, tsunami dan longsor.

Menurutnya, setelah gempa 2004 sekuat 9 SR yang menyebabkan tsunami di Aceh, para ahli menyimpulkan gempa bisa terjadi dimanapun dijalur megathrust ini diseluruh dunia. Hanya saja waktu perulangannya yang berbeda-beda.

"Di Indonesia ada jalur megathrust yang belum pernah terjadi gempa dan tidak diketahui kapan akan terjadi namun pasti terjadi," jelasnya.

"Sementara jalur megathrust sisanya yang memanjang di selatan Jawa sampai NTB perulangannya tejadi sekitar 675 tahun sekali. Demikian juga jalur megathrust yang lain yang ada di Indonesia yang berpotensi gempa besar atau bahkan gempa raksasa," jelasnya dalam  zoom meeting, dengan tema 'Bersiap Hadapi Ancaman Megathrust dan Tsunami', Jumat, 17 September 2021 lalu.

"Wilayah Indonesia memang dibentuk oleh mekanisme yang memicu gempa," ujarnya.

Ia mengatakan ada sebuah studi yang mengatakan bahwa frekuensi kejadian gempa merusak Indonesia terjadi setiap 5,6 bulan sekali. Sedangkan tsunami terjadi 1 sampai 3 tahun sekali.

"Gempa dan tsunami Aceh di Indonesia menyebabkan kerugian Rp 50 trilun dengan korban hampir 200 ribuan orang. Gelombang tsunami Aceh masuk sampai 5 km ke darat dari garis pantai. Dengan ketinggian 33 meter," katanya dalam Konferensi Nasional DKR yang dibuka oleh Dr. dr. Siti Fadilah Supari,  Sp.JP (K) sebagai Ketua Dewan Pembina DKR ini. 

Dr. Eko Yulianto dari Pusat Riset Geoteknologi LIPI dalam webinar Dewan Kesehatan Rakyat (DKR)

Sistem Peringatan Dini 

"Hanya butuh waktu kurang dari 10 menit dari gempa, tsunami akan mencapai daratan. Misalnya pantai di sebelah barat Sumatera, dari Simeuleu, Nias Mentawai Enggano. Semua pantai ini sangat dekat dengan sumber gempa," katanya.

Jadi jika goncangannya lebih dari 30 detik maka itu berpotensi tsunami jika pusat gempanya di lautan. Kita harus segera menyelamatkan diri.
Persoalannya menurutnya adalah gempa sering terjadi malam hari. Oleh karena dibutuhkan satu sistim peringatan dini yang dapat membangunkan orang yang sedang tidur.
"Oleh karena itu setiap rumah perlu memiliki sistim peringatan dini sendiri. Misalkan dengan menggunakan sebuah kaleng berisi kerikil atau kelereng diletakan dipinggir lemari yang akan terjatuh dan berbunyi keras jika ada guncangan," katanya.

Selama ini diinformasikan bahwa pemerintah telah memiliki sistim peringatan dini dari INA TEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System). Namun ternyata alat ini bermasalah dan tidak bisa diandalkan oleh masyarakat dalam menghadapi tsunami. 

"Terus terang harus diakui sistim itu belum berjalan dengan baik. Sehingga kemudian masyarakat tidak bisa bergantung pada sistim itu. Dari beberapa kejadian  sebenarnya sistim itu gagal dalam memberikan peringatan dini," katanya. 

Seandainya sistim itu bekerja seperti yang diharapkan maka menurutnya banyak tempat di Indonesia yang sesungguhnya tsunami itu begitu dekat dari daratan.

Hal yang sama juga menurutnya bisa terjadi pada  pantai utara dari Bali, NTB sampai Kupang NTT. Karena di Indonesia timur ada thrust belt yang bisa memicu gempa dan tsunami seperti yang terjadi di Maumere tahun 1992. Daerah lainnya adalah di pantai barat dan Sulawesi dan kepulauan Maluku dan Papua. 

Pada tahun 2010 tsunami mencapai daratan dalam tempo 7-8 menit. Hal yang sama dengan kejadian tsunami di Selat Sunda dan di Palu. "Sehingga masyarakat harus waspada dengan peringatan dini dari alam berupa guncangan gempa, waktu yang begitu pendek sehingga tidak mungkin di atasi oleh sistim peringatan dini yang kita miliki sekarang," katanya.

Lebih lanjut Dr. Eko Yulianto berpendapat bahwa yang bisa dijadikan peringatan dini tsunami adalah gempanya. Bukan kekuatan gempa yang menjadi tanda kedatangan tsunami, tetapi lama goncangannya.

Dalam pengalaman gempa dan tsunami di Aceh dan Pangandaran, alam sebelumnya telah memberikan peringatan dini berupa suara dentuman, gemuruh angin,  rombongan burung yang terbang, garis hitam muncul di cakrawala.

Berdasarkan pengalaman masyarakat dari gempa dan tsunami sejak Aceh 2004 hingga saat ini didapatkan Kata-kata kunci.dalam evakuasi bencana yaitu abaikan harta. Berlarilah jangan menggunakan kendaraan. Jauhi sungai dan jembatan. Naiklah ke pohon, bangunan tinggi atau bukit terdekat. Kalau sempat terbawa oleh gelombang cari benda yang terapung sebagai pelampung. Kalau sedang berada di laut, jangan berlari ke darat.

"Tsunami dikenal dengan kereta gelombang. Gelombang pertama tidak terlalu besar dan cepat surut.  Waspada gelombang berikutnya yang akan datang berulang ulang, hal inilah yang harus di pahami oleh masyarakat dan menjadi Pengetahuan berbasis komunitas Siaga Bencana. (P-27)


Post a Comment

Previous Post Next Post